Tuesday, November 15, 2011

RUMAH JOLGO, ARSITEKTUR LOKAL YANG HAMPIR PUNAH

Modernisasi membawa dampak tersendiri bagi negara dunia ketiga. Baik efek positif maupun negatif yang cenderung mengarah pada rekonstruksi budaya setempat. Terlebih lagi di Indonesia, maraknya pembangunan di berbagai bidang yang semula bertujuan mempertinggi taraf kesejahteraan penduduk tampaknya menuai kontroversi.  Salah satu contoh, pembangunan dibidang property yang bermula dari penggusuran rumah – rumah adat untuk dirubah menjadi susunan batu bata bertembok pun sudah dicanangkan pemerintah dengan berkedok pada satu kata : pembangunan.

Pergeseran minat masyarakat dari rumah adat jawa (joglo) ke rumah modern memang disertai dengan alasan rasional dan masuk akal. Dari yang semula berdinding bambu, mudah reyot, mudah terbakar, dan rapuh, terganti menjadi sesosok bangunan kuat, tebal, hangat, aman, dan terkesan megah. Stigma yang terlanjur tertanam kuat dalam mindset masyarakat inilah yang melandasi banyaknya perombakan rumah Joglo tradisional menjadi rumah tembok konvensional.

Sebuah fenomena jelas terlihat di Kota Jogja yang notabene diklaim sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kota yang pada era tahun 1800an masih dipenuhi dengan rumah – rumah Joglo yang unik nan cantik itu kini telah berganti wajah menjadi kota pelajar sekaligus kota kebudayaan yang ironisnya ciri fisik kebudayaan itu sendiri pun hampir musnah tergilas jaman. Menurut hasil survey, dari keseluruhan distrik Kota Yogyakarta, tidak ada satupun rumah adat tradisional yang terlihat kecuali kompleks rumah Joglo di dalam Keraton yang memang masih dijaga kelestariannya hingga kini.

Suatu kesaksian diutarakan oleh seorang penduduk di desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Minggu, 2 Oktober 2011. Ny. Surati mengatakan,”Wong saiki ki podo wis ora gelem duwe omah gedhek, geleme nganggo boto. Podo ora gelem nguri-uri tinggalane leluhur dewe”. Yang kalau diartikan, kurang lebih menjadi,”Orang-orang sekarang sudah tidak mau mempunyai rumah dari bambu lagi, maunya hanya memakai batu bata. Semua sudah tidak mau melestarikan peninggalan leluhur sendiri”. Baik diakui maupun tidak, melalui pengakuan nenek usia 73 th ini tercuil secercah harapan bahwa masih ada beberapa gelintir orang yang masih sanggup menjaga rumah Joglo dan peduli akan kelestariannya, yang terlihat dari semangat Ny. Surati yang dengan setia merawat Joglo kesayangannya itu.

Jika dilihat dari segi pola bangunan dan cara membangun yang unik, rumah Joglo adalah salah satu dari sekian banyak mahakarya bangsa Indonesia di bidang teknik arsitektur yang bahkan oleh orang-orang dunia barat pun tidak sanggup untuk menirunya. Mulai dari keunikan desain dan bentuk yang kental akan nuansa jawanya, cara memasang tiang – tiang utama, cara memasang tali dan bambu, cara menata dan merangkai bambu menjadi anyaman dinding, dan lain – lain merupakan suatu keahlian dan keterampilan spesial jawa yang tidak dimiliki bangsa lain.

Inilah salah satu keeksotisan budaya dan rumah joglo jawa yang keberadaannya sudah meminggir tersingkir budaya asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Hanya kitalah generasi muda yang selanjutnya menjadi pihak yang bertanggungjawab atas keberadaan rumah adat joglo jawa agar kearifan dan kemegahannya masih dapat disaksikan oleh anak cucu kita kelak.

No comments:

Post a Comment